PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN
DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK
Elyani
Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan
ABSTRAK
Kesehatan adalah hal penting yang harus dijaga oleh setiap manusia, karena kesehatan merupakan investasi untuk membangun sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi, selanjutnya dalam Pasal 4 dinyatakan : setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Terjadinya malapraktek dalam tindakan medis yang dilakukan baik dengan sengaja maupun karena kelalaian berat yang membahayakan pasien dan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh pasien / konsumen kesehatan. Adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam hal ini pasien/konsumen kesehatan belum sepenuhnya dapat terjamin haknya.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Kesehatan, Malpraktek
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan salah satu hal yang mutlak dibutuhkan manusia. Ironisnya, dunia medis adalah salah satu dunia yang sedikit sekali diketahui orang awam. Kelompok professional medis dan keahliannya seakan menjadi pengetahuan yang ekslusif bagi mereka saja. Kondisi ini terjadi, bahkan saat pasien berhadapan dengan keadaan yang menyangkut keselamatan dirinya. Padahal pasien berhak mengetahui segala hal yang berkaitan dengan perlakuan medis maupun obat yang dikonsumsinya. Ini menyangkut konsekuensi biaya, efek samping, dan efek jangka panjang konsumsi tersebut. Dalam malapraktek medik, selain aspek hukum perdata, juga melekat di dalamnya aspek hukum pidana. Meskipun dalam hal perlindungan konsumen cenderung berkaitan dengan segi perdata. Untuk dapat dikatakan telah terjadi malapraktek medik menurut hukum perdata adalah telah terjadi penyimpangan dari standar profesi kedokteran. Namun sayangnya, hingga saat ini Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan belum ada. Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam Hukum Kedokteran. Keduanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam melaksanakan hubungan antara dokter dan pasien, pelaksanaan hubungan antara keduanya selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaaksanaannya.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Perlindungan Konsumen menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa hubungan antara konsumen dan pelaku usaha (pengusaha) pada dasarnya adalah hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Berdasar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Perlindungan Konsumen bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pamakaian barang dan/atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mandapatkan informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi
Yaitu hak konsumen untuk memperoleh ganti rugi terhadap kerugian yang diderita atau gangguan kesehatannya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 huruf h, menyebutkannya dengan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa harta benda seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan. Kedua bentuk kerugian tersebut dapat dinilai dengan uang (harta kekayaan). Penentuan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seperti sebelum terjadinya kerugian atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seandainya perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Oleh karenanya, ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan barang atau jasa yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen dapat secara langsung meminta ganti kerugian kepada pelaku usaha, hal ini tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Adapun ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tersebut dapat berupa :
a. Pengembalian uang
b. Penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya
c. Perawatan kesehatan
d. Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) belum memberikan perlindungan kepada konsumen yang mengalami kerugian secara maksimal, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit. Melalui pasal tersebut, konsumen hanya memperoleh salah satu bentuk ganti kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang ditimbulkan dari biaya perawatan kesehatan.
Perlindungan Hak Atas Ganti kerugian Bagi Konsumen Kesehatan
Setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberlakukan, maka prinsip tanggungjawab yang dianut di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (1) , Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat digugat untuk mengganti
kerugian. Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara produsen, tetapi semua yang dinyatakan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai pelaku usaha, termasuk di dalamnya adalah dokter yang dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa kepada pasien selaku konsumen kesehatan.
Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya UUPK telah ada beberapa UU yang materinya melindungi konsumen, seperti UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung hukum (umbrella act) bagi peraturan perundangan-undangan lainnya yang berhubungan dengan konsumen. Tenaga kesehatan yang dimaksudkan disini adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Kesehatan, setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Baik standar profesi pada umumnya maupun standar profesi mediknya. Demikian pula dengan penghormatan hak, baik hak-hak pasien pada khususnya, maupun hak-hak konsumen pada umumnya. Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap hukum dan etika tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya.
Kendala Pemenuhan Hak Atas Ganti Kerugian Bagi Konsumen Kesehatan
Pasal 55 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, hanya menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal 50 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berbunyi: dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Undang-undang mengenai praktik kedokteran, oleh banyak pihak dinilai lebih memihak dokter ketimbang konsumen kesehatan. Undang-undang tersebut justru cenderung melindungi dokter, bukan tenaga medis yang lain, apalagi konsumen kesehatan. Tak heran jika dalam banyak kasus malpraktek, pasien yang menjadi korban cenderung berada dalam posisi yang lemah. Jika ada anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dilaporkan melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), maka pasien sebagai pihak yang dirugikan dapat melapor kepada IDI setempat. Selanjutnya Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) akan bersidang dan menilai apakah anggota tersebut melanggar etika atau tidak. Jika terbukti, maka IDI dapat memberikan sanksi, yang bersifat sanksi moral sampai sanksi pemecatan dari keanggotaan IDI. Namun sayangnya, IDI tidak berwenang mencabut izin praktik yang merupakan kewenangan pemerintah. Di lain sisi pasien sendiri mengalami kesulitan untuk menuntut dokter secara hukum, sebab tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktek, kecelakaan dan kelalaian. Ganti rugi hanya diberikan bila terbukti ada kerugian yang ditanggung pasien. Sedangkan beban pembuktian itu sendiri ada pada pasien. ”Hukum pidana atau perdata dapat dilakukan pada dokter hanya bila terjadi kecacatan atau kematian atau reaksi tubuh yang tidak diharapkan akibat dari pelayanan yang tidak sesuai dengan kaidah medis”.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat adanya perbedaan beban pembuktian yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan pembuktian yang diatur dalam Hukum Acara yang berlaku menurut KUH Perdata.
Penutup
Konsumen kesehatan disini adalah pasien kesehatan yang mengalami malpraktek medik serta belum mendapat perlindungan hukum atas hak ganti rugi sebagaimana yang diharapkan. Pemenuhan atas hak ganti rugi bagi konsumen kesehatan hanya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum yang mana konsumen kesehatan harus berupaya untuk bisa membuktikan kesalahan yang telah dilakukan oleh pelaku usaha jasa layanan kesehatan (dokter dan Rumah Sakit) Hal ini disebabkan belum adanya ketentuan yang secara jelas mengatur mengenai malpraktek medik dan memberikan perbedaan yang jelas dengan kelalaian atau kekurang hati-hatian. Oleh karena itu, dalam memutus kasus malpraktek menggunakan ketentuan dalam KUH Perdata khususnya Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter atau Rumah Sakit. Sedangkan kendala yang dihadapi oleh pihak konsumen kesehatan (pasien) adalah kesulitan untuk mendapatkan Rekam Medik (RM). Oleh karena itu, apabila penyelesaian kasus malpraktek hanya dengan menggunakan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata maka belum dapat sepenuhnya memberikan kepuasan bagi konsumen kesehatan dalam mendapatkan hak atas ganti rugi terkait dengan kendala yang dihadapi oleh pihak konsumen kesehatan yang harus membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha jasa layanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Maryanti, Ninik. 1988, Malpraktek Kedokteran, cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta.
Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
http://www.kompas.com/berita/29 Juli 2000
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/13 Oktober 2004
No comments:
Post a Comment