Sunday, June 3, 2012

Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat


Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 

 ABSTRAK


Praktek-praktek monopoli di Indonesia sering tidak mendapatkan tempat perhatian dalam dunia penelitian. Namun demikian, oleh karena fasilitas-fasilitas tertentu dari pemerintah, maka kehadiran monopolis dapat memperkuat transfer pendapatan dari yang relatif lemah ke kelompok yang relatif lebih kuat, maka kehadiran monopolis dapat memperkuat transfer pendapatan akan tetapi walaupun monopolis mendapatkan keuntungan yang super normal namun kurang diimbangi dengan pembayaran pajak yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. 



PENDAHULUAN

Ada beberapa pengertian monopoli yang diartikan beberapa   Kalangan 
Black’s Law Dictionary mengartikan monopoli sebagai “a peveilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right ( or power ) to carry on a particular article, or control yhe sale of whole supply of a particular commodity ” . (Henry Champbell Black,1990 : 696)
  Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monoopli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002)

Disamping istilah monopoli di USA sering digunakan kata “antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli .

Selain itu, Undang-Undang Anti monopoli juga memberikan arti kepada “persaingan usaha tidak sehat” sebagai suatu persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.   Dengan demikian Undang-undang Anti Monopoli No 5 tahun 1999 dalam memberikan arti kepada posisi dominan atau perbuatan anti persaingan lainnya mencakup baik kompetisi yang interbrand, maupun kompetisi yang intraband. Yang dimaksud dengan kompetisi yang interbrand adalah kompetisi diantara produsen produk yang generiknya sama. Dilarang misalnya jika satu perusahaan menguasai 100 persen pasar televisi, atau yang disebut dengan istilah “monopoli”. Sedangkan yang dimaksud dengan kompetisi yang intraband adalah kompetisi diantar distributor atas produk dari produsen tertentu. (Munir Fuady 2003: 6)

Disamping itu, ada juga yang mengartikan kepada tindakan monopoli sebagai suatu keistimewaan atau keuntungan khusus yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang atau perusahaan, yang merupakan hak atau kekuasaan yang eksklusif untuk menjalankan bisnis atau mengontrol penjualan terhadap seluruh suplai barang tertentu .

Dalam hukum Inggris kuno, monopoli diartikan sebagai suatu izin atau keistimewaan yang dibenarkan oleh raja untuk membeli, menjual, membuat. Mengerjakan atau menggunakan apapun secara keseluruhan, dimana tindakan monopoli tersebut secara umum dapat mengekang kebebasan berproduksi atau trading. Atau monopoli dirumuskan juga sebagai suatu tindakan yang memiliki atau mengontrol bagian besar dari suplai di pasar atau output dari komoditi tertentu yang dapat mengekang kompetisi, membatasi kebebasan perdagangan, yang memberikan kepada pemonopoli kekuasaan pengontrolan terhadap harga.

Ada lagi yang mengartikan kepada tindakan monopoli (yang umum )sebagai suatu hak atau kekuasaan hanya untuk melakukan suatu kegiatan atau aktivitas yang khusus, seperti membuat suatu produk tertentu, memberikan suatu jasa, dan sebagainya. Atau, suatu monopoli (dalam dunia usaha) diartikan sebagi pemilikan atau pengendalian persediaan atau pasaran untuk suatu produk atau jasa yang cukup banyak untuk mematahkan atau memusnahkan persaingan, untuk mengendalikan harga, atau dengan cara lain untuk membatasi perdagangan   Struktur monopoli sering pula dibedakan atas monopoli alamiah dan non alamiah. Monopoli alamiah antara lain dalam memproduksi air minum, gas, listrik dan lainnya sedangkan monopoli non alamiah yang merupakan monopoli berasal dari struktur oligopoli yang kolusif sehingga mendapatkan tempat yang kurang baik , akan tetapi bukan berarti yang alamih juga dapat melepaskan diri dari citra yang kurang baik di pihak lain. (Nurimansyah Hasibuan .1993)


ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT MONOPOLI USAHA TIDAK SEHAT
Asami emogu

UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi “rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas. Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji. Pengaturan hukum persaingan usaha atau bisnis melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LN 1999 No. 33, TLN No. 3817) diberlakukan secara efektif pada tanggal 5 Maret 2000 merubah kegiatan bisnis dari praktik monopoli yang terselubung, diam-diam dan terbuka masa orde baru menuju praktik bisnis yang sehat. Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1999 selama ini perlu dilakukan kaji ulang, guna mengetahui implikasi penerapan kompetisi yang “sehat” dan wajar di antara pengusaha atau pelaku usaha dalam sistem ekonomi (economic system) terhadap demokrasi ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

UU No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan bergulirnya era globalisasi dunia dan demokrasi ekonomi yang diberlakukan di tanah air. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan kegiatan ekonomi orang lain bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar dengan para pesaingnya.

Semua ini bertujuan untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat, memperluas peluang usaha di dalam negeri (domestik) dan kemampuan bersaing dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka perdagangan bebas (free trade).

Semua ini didasarkan pada pertimbangan setelah Indonesia menjadi anggota organisasi perdagangan dunia (WTO) dengan diratifikasi UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization pada tanggal 2 Nopember 1994 (LN Tahun 1994 No.95, TLN No. 3564).

Pada waktu bersamaan diharapkan pengusaha nasional mampu untuk bersaing dengan “sehat“ di pasar-pasar regional dan internasional pada iklim globalisasi ekonomi sebagai tata ekonomi dunia baru. Pengaturan persaingan bisnis juga bertujuan untuk menjamin usaha mikro dan usaha kecil mempunyai kesempatan yang sama dengan usaha menengah dan usaha besar atau konglomerasi dalam perkembangan ekonomi bangsa.

Pengaturan ini melindungi konsumen dengan harga yang bersaing dan produk alternatif dengan mutu tinggi mengingat pengaturan tersebut mencakup pada bidang manufaktur, produksi, transportasi, penawaran, penyimpanan barang dan pemberian jasa-jasa. Persaingan usaha dapat terjadi dalam negosiasi perdagangan, aturan liberalisasi pasar dan inisiatif penanaman modal asing yang berpindah-pindah dikaitkan kebijakan pemerintah di dalam negeri untuk memenangkan persaingan bagi pengusaha nasional di pasar regional dan internasional.

Persaingan yang sehat di pasar dalam negeri merupakan bagian penting “public policy” pada pembangunan ekonomi yang dinyatakan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 dan TAP MPR RI No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional yang menegaskan “mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan mengganggu mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang”.

Semua ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas pengusaha nasional yang andal dan kuat bersaing di pasar regional dan internasional. Selain itu, kebijakan ekonomi pemerintah mampu meyakinkan para investor asing dan ekportir luar negeri mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar dalam negeri dengan pengusaha lokal/nasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Tujuan kebijakan persaingan usaha adalah menumbuhkan dan melindungi para pengusaha melakukan “persaingan sehat” yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi. Persaingan antar perusahaan adalah pembeli dan penjual memiliki pilihan yang luas kepada siapa untuk berhubungan dagang. Tujuan lain mengurangi atau melarang terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu. Ekonomi pasar yang bersaing tidak terjadi dengan sendirinya.

Kompetisi yang sehat dalam kegiatan ekonomi negara harus diikuti kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi badan usaha yang tidak sehat atau failit (bangkrut). Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi pasar bebas agar kebijakan publik di bidang ekonomi yang merugikan kegiatan bisnis dapat dihilangkan. Akibat persaingan usaha, pengusaha dalam kegiatan bisnis melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat bahkan melampaui batas-batas negara dengan melanggar perdagangan dunia. Pada era globalisasi ekonomi, kesepakatan bisnis mengubah bentuk perdagangan dunia dalam waktu singkat menjadi perkampungan global (global village). Kesepakatan ini merugikan kepentingan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin yang tidak siap menghadapi perubahan ekonomi dunia pasca dibentuknya WTO.

Globalisasi adalah upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi persaingan usaha dalam dua hal. Pertama, perdagangan antar negara menumbuhkan investasi dan produksi melewati batas-batas negara. Kegiatan yang berimplikasi persaingan, seperti praktik cross border pricing, hambatan masuk (barrier entry) dan pengambilalihan usaha dalam ekonomi baru bertambah. Kedua, pemerintah negara-negara berkembang khawatir terhadap kemampuan pengusaha nasional sehingga berusaha menciptakan lingkungan usaha yang sehat dan memungkinkan produk domestik oleh pengusaha mampu bersaing dengan manufaktur barang impor di dalam negeri dan sebagai eksportir masuk ke pasar luar negeri dalam rangka perdagangan dan pasar bebas.

Kebijakan persaingan usaha bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu dalam kegiatan bisnis. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan kepentingan dunia usaha memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, karena kebijakan persaingan usaha yaitu menambah kesejahteraan atau kepuasan konsumen dengan menyediakan pilihan produk baru dan menciptakan harga bersaing di antara produk tersedia untuk kebutuhan barang konsumsi sehari-hari. Selain itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik dan memperbaiki alokasi efisiensi dalam kaitan sumber alam yang terbatas, memperbaiki kemampuan domestik untuk berpartisipasi pada pasar global, dan mendorong kesempatan sama ‘dunia usaha’ melalui kegiatan ekonomi yang sehat.

B. LARANGAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

Percaturan dunia usaha yang semakin kompetitif dan komparatif dalam menggaet konsumen sebanyak-banyaknya dan memperluas pemasaran tidak dapat dielakkan lagi. Monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi yang dilakukan oleh para pelaku bisnis dalam upaya penguasaan pasar seluas-luasnya, baik di dalam maupun luar negeri. Perilaku usaha tidak sehat ini merugikan menciptakan pasar yang sehat dan adil. Pada era Orde Baru di Indonesia, contohnya, monopoli yang dilakukan oleh Liem Sie Liong terhadap komoditi terigu, makanan fast food, semen dan kertas berjalan mulus karena taipan ini dekat dengan pusat kekuasaan, yaitu RI 1 alias Presiden Soeharto. Begitu juga halnya “Keluarga Cendana” yang menguasai tata niaga cengkeh, jeruk, bioskop dan jalan tol tidak dapat dihindarkan dengan kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru beraroma korupsi, kolusi dan nepotisme cenderung menguntungkan segelintir orang melalui ekonomi “terpusat”, yakni di tangan presiden. Praktek ketatanegaraan Indonesia saat itu menempatkan bahwa presiden tidak hanya sebagai penguasa di bidang politik dan hukum akan tetapi juga sebagai penguasa ekonomi.

Di Amerika Serikat sebagai negara demokrasi dan kapitalis ternyata praktek monopoli juga ada. Bill Gate dengan bendera bisnis, Microsoft memonopoli pangsa pasar penjualan software atau perangkat lunak komputer yang menimbulkan protes keras dari saingan bisnisnya, karena berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis Amerika Serikat yang membuka kebebasan usaha sebesar-besarnya bagi para pengusaha.

Selama ini di dunia, dikenal tiga bentuk sistem ekonomi yang dipakai oleh setiap negara dalam kegiatan ekonomi nasionalnya. Pertama, sistem ekonomi kapitalis (capital economy system), yakni sumber daya ekonomi dialokasikan melalui mekanisme pasar. Kedua, ekonomi yang direncanakan secara terpusat (centrally planned economy) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan oleh pemerintah yang berkuasa. Ketiga, sistem ekonomi campuran (mixed economy system) di mana sumber daya ekonomi dialokasikan, baik oleh pasar maupun pemerintah secara bersama-sama.

Praktek penguasaan bisnis berupa monopoli (monopoly) dan persaingan usaha tidak sehat (unfair competition) yang sangat menonjol biasanya terdapat dalam sistem ekonomi kapitalis dibandingkan pada sistem ekonomi yang direncanakan secara terpusat dan sistem ekonomi campuran. Sebab pada kedua sistem ekonomi terakhir ini, kontrol pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif kuat dalam perdagangan dengan adanya regulasi dan kebijaksanaan ekonomi pemerintah yang cukup ketat. Sebaliknya, sistem ekonomi kapitalis dalam masyarakat liberal biasanya kontrol pihak pemerintah terhadap kegiatan ekonomi relatif lebih longgar, karena adanya mekanisme pasar yang memberi kebebasan seluasnya kepada produsen dan konsumen untuk menentukan harga.
Monopoli yang tidak terkontrol dalam sistem ekonomi ini melahirkan monopoli pasar melalui cara praktik kartel, diskriminasi harga, pembagian pasar dan sebagainya.

Bahaya monopoli masyarakat Barat diungkapkan, “that the monopolist stops expanding output at the point where his marginal revenue and marginal cost cuves intersect”. Monopoli ekonomi demikian tidak sehat, karena dapat mengurangi persaingan dalam kegiatan industri dan menghambat para pelaku ekonomi lainnya untuk memasuki bidang usaha tersebut. Merugikan kegiatan ekonomi atau bisnis adalah tiada persaingan usaha memungkinkan suatu perusahaan menaikkan harga semaunya di atas tingkat harga wajar, karena tidak ada produk alternatif untuk dipilih konsumen. Selain itu tidak mendorong perusahaan mencari penemuan baru, mengurangi atau menetapkan ongkos produksi yang rendah untuk barang/jasa atau memperbaiki teknologi produksi dalam persaingan dengan produk negara lain di pasar internasional dengan berlaku era globalisasi yang melibatkan “recognizing the particular genius of employee” perusahaan beroperasi di dunia tanpa melihat siapa orang atau kewarganegaraan. Keunggulan produk barang/jasa perusahaan menentukan dalam persaingan usaha antar negara dalam globalisasi ekonomi.
Penghargaan didasarkan atas karya atau produk yang hebat serta usaha untuk menciptakan kemajuan perusahaan tanpa batas dalam menghadapi persaingan bisnis.

Anthony Giddens menamakan era globalisasi ini sebagai runaway world atau dunia yang tidak terkendalikan akibat dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan ini diramalkan semakin tidak terkendali dalam kegiatan ekonomi, terutama saat berlakunya Asean Free Trade Agreement (AFTA) tahun 2003, Asia Pacific Economic Co-operation (APEC) tahun 2010 dan World Free Trade tahun 2020 apabila praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pemerintah tidak mengaturnya dengan baik.

Persaingan pasar berjalan dengan baik apabila tidak ada tindakan diskriminatif atau restriktif oleh suatu negara terhadap produk negara lain. Tindakan diskriminatif dan restriktif dapat menimbulkan distorsi pasar bagi produsen negara-negara maju di pasar negara berkembang. Kebijakan ekonomi negara-negara berkembang dan miskin tentu ingin menyelamatkan produk dalam negeri yang berlawanan dengan perdagangan bebas, karena pengusha negara berkembang belum siap menghadapi persaingan pasar bebas dengan meningkatnya serbuan produk barang/jasa dari negara-negara maju.

Selama ini dalam sistem ekonomi kapitalis terdapat beberapa bentuk perbuatan monopoli yang dilarang undang-undang anti monopoli.

Pertama, horizontal merger. Tindakan ini dilakukan antara dua perusahaan besar dengan merger (penggabungan usaha) untuk menguasai pasar. Semula kedua perusahaan besar bersaing merebut pasar. Hasil merger menghapuskan persaingan.

Kedua, joint monopolization. Monopoli ini tidak dilakukan oleh satu perusahaan. Dua atau lebih perusahaan dapat bekerja sama dengan kekuatan mampu menciptakan monopoli. Misalnya tiga perusahaan sendiri-sendiri tidak mampu melakukan monopoli. Merger ketiga perusahaan menimbulkan praktik monopoli dalam kegiatan bisnis.

Ketiga, predatory. Tindakan dalam kegiatan bisnis yang membuat pelaku ekonomi baru tidak dapat memasuki pasar dengan bebas atau menimbulkan kerugian kepadanya, sehingga ia tidak dapat bersaing dengan baik.

Keempat, price discrimination (diskriminasi harga). Pelaku monopoli memiliki kekuasaan dengan intensif untuk melakukan diskriminasi harga. Melalui berbagai cara, pelaku monopoli bisa memisah-misahkan pembeli dalam kelas yang belainan dan menetapkan harga dengan ongkos yang lebih besar kepada pihak yang satu daripada pihak yang lain. Para pelaku monopoli dapat melakukannya secara terbuka, misalnya dengan menawarkan harga yang relatif lebih rendah kepada anak-anak muda, pensiunan, mahasiswa, pegawai pemerintah atau menjual produk yang sama dengan merek berlainan atau model biasa dan model luks. Diskriminasi harga dapat dilakukan secara rahasia dengan menawarkan diskon lebih besar dari ongkos atau harga jual dapat dihemat para pembeli besar sebagai hasil dari jumlah penjualan. Diskriminasi harga itu bertujuan untuk memaksimalkan atas benefits (keuntungan) pengusaha atau mematikan produsen lain yang potensial menyaingi kegiatan usahanya.

Di Amerika Serikat, misalnya Undang-undang Anti Monopoli telah ada pada tahun 1890 dengan lahirnya The Sherman Antitrust Act. Undang-undang ini melarang setiap bentuk praktek monopoli atas suatu produk atau pemasaran barang dan atau jasa yang menghambat perdagangan (barrier trade) dalam kegiatan bisnis dan melindungi usaha kecil yang lemah.

Isi penting dari larangan monopoli The Sherman Act antara lain memuat masalah monopoli sebagai berikut : Section 1 : ”Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with foreign nations, is declared to be illegal …”. Section 2 : “Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of the trade or commerce among the several states, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony …”.

Larangan praktek monopoli dalam The Sherman Act ditekankan pada penguasaan produksi dan pemasaran atas barang/jasa satu pelaku atau kelompok pelaku usaha dengan unsur larangan monopoli ini, yakni ”possesion of monopoly power in relevant market; willfull acquisition or maintenance of that power”. Artinya, kekuasaan atas monopoli merupakan hal yang penting dalam pemasaran, karena keinginan pengambilalihan atau menjaga agar kekuasaan tersebut tetap ada agar tidak ada persaingan pihak lain.

Untuk memperoleh kekuatan pasar, maka pengusaha kuat melakukan tindakan dengan menciptakan hambatan dalam perdagangan, menaikkan harga dan membatasi produk barang/jasa guna mendorong terjadi inefisiensi sehingga tindakan demikian dalam persaingan usaha yang sehat perlu dilakukan delegalisasi. Tiada persaingan perusahaan dari lain merupakan keinginan atau tujuan utama pengusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Keadaan ini menyebabkan konsumen dianggap sebagai “sapi perahan” dan bukan “raja” dalam kegiatan ekonomi. Artinya, hak konsumen untuk memperoleh harga wajar dan barang atau jasa yang baik diabaikan pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan bisnis dalam waktu singkat. Tidak jarang pengusaha mempengaruhi tingkat penawaran meraih keuntungan berlipat ganda tanpa mempedulikan tingkat kemampuan ekonomi dari konsumen yang lemah untuk memperoleh barang/jasa. Sikap monopoli para pengusaha ini didasarkan pada akses kondisi dari competititve viability.

Di dalam perkembangan dunia usaha di Amerika Serikat selanjutnya, maka para pengusaha mempunyai berbagai cara untuk menghindarkan dikenakan The Sherman Act dalam kegiatan usaha untuk memonopoli pasar. Ulah pemilik usaha ini ternyata sangat merugikan kepentingan masyarakat. Kemudian The Clayton Act lahir tahun 1914 sebagai penyempurnaan The Sherman Act mengatasi usaha mengarah kepada praktek monopoli.

The Clayton Act memuat empat praktek illegal namun bukan dianggap melanggar hukum, yakni
(1) price discrimination atau larangan diskriminasi harga,
(2) tying and exclusive dealing contracts atau penjualan barang membuat pihak pembeli tidak dapat saling berhubungan dengan perusahaan yang lain,
(3) corporate mergers atau penggabungan perusahaan yang dapat menimbulkan monopoli, dan
(4) interlocking directorates atau menduduki jabatan dari dua perusahaan yang bersaing.

Praktek monopoli dalam kegiatan bisnis sebenarnya tidak dilarang selama posisi pasar yang bersifat monopolistik dalam suatu mekanisme pasar yang sehat diperoleh dan dipertahankan melalui kemampuan, prediksi atau kejelian bisnis yang tinggi serta tidak merugikan pihak-pihak lain sebagai sesama pelaku ekonomi.
Suatu perusahaan yang mampu melakukan inovasi dengan adanya penemuan baru, maka perusahaan tersebut mempunyai posisi dominan atau monopoli atas produk barang tersebut. Monopoli atas penemuan baru itu diperoleh suatu korporasi (perusahaan) berdasarkan pada ketentuan hukum yang mengatur tentang hak atas kekayaan intelektual (HKI).
Adanya “payung hukum” demikian, monopoli mempunyai “kekuatan hukum” asalkan dalam batas-batas tertentu yang tidak merugikan bagi kepentingan pihak lain dalam kegiatan bisnis. Demikian juga kalau terjadi suatu perusahaan yang tumbuh secara cepat dengan menawarkan kombinasi antara kualitas barang dan jasa dengan harga yang diinginkan oleh konsumen, pangsa pasarnya tumbuh dengan cepat, kemudian dapat dikatakan perusahaan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi, baik di pihak produsen maupun pihak konsumen. Tindakan monopoli dalam batas-batas tertentu ini masih dapat ditolerir dalam aturan hukum, terutama karena dianggap tidak merugikan kepentingan konsumen untuk memperoleh barang/jasa.

KESIMPULAN

Praktik monopoli yang dilarang oleh undang-undang anti monopoli adalah monopoli yang menyebabkan terjadinya penentuan pasar, pembagian pasar dan konsentrasi pasar. Sistem ekonomi pasar adalah cara terbaik guna menghindarkan praktek monopoli, karena dalam pasar itulah terjadi persaingan sehat di antara para pelaku usaha sehingga keluar sebagai “pemenang” adalah pihak yang benar-benar terbaik, paling kuat dan paling sehat (survival of the fittest). Pasar bebas dianggap paling mendekati keadaan atau sifat alam yang bebas dan sehat dalam persaingan usaha sehingga gangguan dalam bentuk campur tangan dari pemerintah menghambat seleksi alamiah yang sehat. Pada era globalisasi ekonomi, keberadaan perdagangan dan pasar bebas ini tidak dapat dihindarkan dalam persaingan usaha. Kesiapan pengusaha menyambut pasar bebas diperlukan agar produk pengusaha nasional tidak kalah bersaing merebut konsumen dari negara industri lain karena mengutamakan keunggulan kualitas produk barang/jasa yang dimiliki untuk bersaing dengan suasana pasar yang betul-betul sehat. Pasar bebas adalah suatu mekanisme dalam kegiatan ekonomi yang terinci dan terkoordinasi di bawah sadar manusia dan sektor usaha melalui sistem harga dan pasar. Mekanisme ini merupakan alat komunikasi untuk menghimpun pengetahuan dan tindakan jutaan orang yang berlainan kepentingan dan tersebar di mana-mana dalam memilih suatu produk barang dan atau jasa yang diinginkannya. Tidak ada seorang pun dengan sengaja dapat merancang pasar, namun pasar tetap dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan mekanisme yang ada. 

PERBANKAN SYARIAH DALAM TATA HUKUM EKONOMIINDONESIA



PERBANKAN SYARIAH DALAM TATA HUKUM EKONOMIINDONESIA

ABSTRAK

            Lembaga keuangan yang sehat terdapat dalam bank syariah, yang berlandaskan pada Al-qur’an dan riwayat nabi Muhammad saw. Yang membedakan dari bank lainnya adalah ditiadakannya bunga dan bagi hasil antara pihak bank dan nasabah.


PENDAHULUAN

            Ekonomi merupakan bagian dari kehidupan manusia, karena kegiatan ekonomi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk menghindari kekeliruan, kegiatan ekonomi memiliki aturan-aturan dengan syarat nilai norma agar tidak menimbulkan kekacauan dan kekeliruan.
            Dalam kegiatan ekonomi manusia membutuhkan lembaga keuangan, yang dimaksud adalah bank, untuk membantu pembiayaan, penyimpanan, pinjaman, deposito, dll. Dalam GBHN, bank berfungsi sebagai sarana pemberdayaan masyarakat dan kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi. BankIndonesia harus memiliki kepercayaan, pendorong pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan, agar terwujudnya tujuan Negara yang belum sepenuhnya tercapai.
            Usaha perubahan dan penyempurnaan perbankan nasional sudah dilakukan pemerintah untuk memulihkan perekonomian Negara, yaitu pengambilalihan kepemilikan bank, rekapitulisasi, sampai pencabutan izin usaha bagi bank yang bermasalah atau pembekuan operasi bank. Dalam rangka penyehatan perbankan, pembentukan badan khusus merupakan metode agar aktivitas yang transparansi dan mengurangi hak-hak kerahasiaan dari nasabah penyimpan. Untuk pendirian bank, disesuaikan dari izin pendirian dan kepemilikan untuk modal perbankan serta meniadakan diskriminasi pengaturan antara bank umum dan bank campuran. Sehingga bank umum dapat beroperasi secara konvensional dan menjalankan pola pembiayaan dan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Hal ini menunjukkan kemudahan pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan usaha bank.
           
PENGERTIAN DAN DASAR OPERASIONAL BANK SYARIAH

            Secara umum bank syariah adalah bank islam, tetapi memiliki akademik yang berbeda dan secara teknis pengertiannya sama. Bank islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalulintas pembayaran serta pengedaran uang yang disesuaikan dengan prinsip syariah islam.
            Dengan demikian, balam hal ini bank syariah berdasarkan aturan bermuamalah secara islami, yaitu mengacu pada ketentuan al-quran dan sunnah rasul saw. Aplikasi pun disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat selama tidak menyimpang dari ajaran islam. Tetap mempertahankan metode meniadakan praktek riba.
            Bank syariah tidak berbeda jauh dengan bank konvesional lainnya. Perbedaan yang mendasar adalah konsep dasar operasionalnya yang berdasarkan atas ajaran islam dan orientasi pada peniadaan kedzaliman terhadap masyarakat.
            Bank syariah yang terdapat di Indonesia memiliki dua jenis, bank syariah dan BPR syariah. Dan disesuaikan kondisi masyarakat dan bidang hukumnya. Dalam operasionalnya, bank syariah dan BPR syariah termasuk lembaga keuangan yang sehat. Perbankan islam mendahului bagi hasil, yaitu mengandung akad yang sifatnya proporsional sebagaimana fungsi lembaga keuangan itu sendiri dan pijakan keadilan. Sehingga tidak ada celah untuk praktek riba.
            Riba sangatlah buruk bagi perekonomian suatu Negara. Dapat menghancurkan perekonomian, ibarat virus yang menyerang sel-sel dalam tubuh dan sulit di obati. Dengan demikian riba menjadi problem ekonomi. Problema yang timbul antara lain, melumpuhkan potensi SDM, inflasi, ketimpangan ekonomi yang salah arah, konsumerisme dan spekulasi ekonomi. Jika terus terikat praktek riba, masyarakat tidak pernah bisa lari dari keterpurukan hidup apabila selalu terteror dengan pengembalian yang terus tinggi tiap tahun. Riba di larang dalam al-quran (al-baqarah [2]: 278), tidak hanya di al-quran, tetapi di kitab suci lain pun melarang keras praktek riba.
           
EKSISTENSI BANK SYARIAH DALAM PERBANKAN INDONESIA

            Kebutuhan masyarakat di Indonesia, terutama islam yang mengharapkan bank tanpa bunga telah di tampilkan dari bank syariah. Keberadaannya merupakan kekuatan baru bagi perbankan Indonesia, selain sebagai penambah kepercayaan masyarakatIndonesia terhadap perbankan.
            Kehadirannya membawa berbagai macam produk islami. Layanan pun berlandaskan pada perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan keduabelah pihak, dengan berpedoman pada fungsi charity (ta’awun). Dalam pelayanan pun bank syariah memfasilitasi berbagai produk tanpa bunga. Namun, sebagaimana lembaga transaksi lainnya antara bank dan nasabah memiliki hubungan yang dituangkan dalam perjanjian tertulis. Untuk itu, jika terjadi sengketa antara keduabelah pihak dibutuhkan perlakuan hukum yang menengahi.
            Untuk menyelesaikan sengketa antara bank dan nasabah, maka pakar ekonomi Indonesia mengemukakan bahwa bila terjadi sengketa, diberlakukan hukum yang terkandung dalam KUHP perdata, karena hukum KUHP perdata merupakan hukum positif.
            Dalam penyelesaian hukum, terdapat perbedaan antara bank syariah dan bank konvesional, dimana bank syariah diselesaikan melalui BAMUI yang didirikan bersama oleh Kejaksaan Agung dengan Majelis Ulama Indonesia.

PENUTUP

            Kesimpulan dari tulisan ini bahwa bank syariah berlandaskan pada keadilan, kemanusiaan dan tolong menolong. Produk pun tidak jauh berbeda dengan produk dalam perbankan konvesional. Perbedaan mencoloknya hanya bank syariah tidak mengandung bunga dan bagi hasil.
           

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK



PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN KESEHATAN
DALAM HAL TERJADI MALPRAKTEK

Elyani
Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAB Medan
ABSTRAK
Kesehatan adalah hal penting yang harus dijaga oleh setiap manusia, karena kesehatan merupakan investasi untuk membangun sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi, selanjutnya dalam Pasal 4 dinyatakan : setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Terjadinya malapraktek dalam tindakan medis yang dilakukan baik dengan sengaja maupun karena kelalaian berat yang membahayakan pasien dan mengakibatkan kerugian yang diderita oleh pasien / konsumen kesehatanAdanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam hal ini pasien/konsumen kesehatan belum sepenuhnya dapat terjamin haknya.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Kesehatan, Malpraktek
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan salah satu hal yang mutlak dibutuhkan manusia. Ironisnya, dunia medis adalah salah satu dunia yang sedikit sekali diketahui orang awam. Kelompok professional medis dan keahliannya seakan menjadi pengetahuan yang ekslusif bagi mereka saja. Kondisi ini terjadi, bahkan saat pasien berhadapan dengan keadaan yang menyangkut keselamatan dirinya. Padahal pasien berhak mengetahui segala hal yang berkaitan dengan perlakuan medis maupun obat yang dikonsumsinya. Ini menyangkut konsekuensi biaya, efek samping, dan efek jangka panjang konsumsi tersebut. Dalam malapraktek medik, selain aspek hukum perdata, juga melekat di dalamnya aspek hukum pidana. Meskipun dalam hal perlindungan konsumen cenderung berkaitan dengan segi perdata. Untuk dapat dikatakan telah terjadi malapraktek medik menurut hukum perdata adalah telah terjadi penyimpangan dari standar profesi kedokteran. Namun sayangnya, hingga saat ini Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan belum ada. Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam Hukum Kedokteran. Keduanya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam melaksanakan hubungan antara dokter dan pasien, pelaksanaan hubungan antara keduanya selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam pelaaksanaannya.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Perlindungan Konsumen menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa hubungan antara konsumen dan pelaku usaha (pengusaha) pada dasarnya adalah hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Berdasar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Perlindungan Konsumen bertujuan untuk:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pamakaian barang dan/atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mandapatkan informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi
Yaitu hak konsumen untuk memperoleh ganti rugi terhadap kerugian yang diderita atau gangguan kesehatannya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 huruf h, menyebutkannya dengan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Kerugian yang diderita seseorang secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian, yaitu kerugian yang menimpa harta benda seseorang. Sedangkan kerugian harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta kehilangan keuntungan yang diharapkan. Kedua bentuk kerugian tersebut dapat dinilai dengan uang (harta kekayaan). Penentuan besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, pada dasarnya harus berpegang pada asas bahwa ganti kerugian yang harus dibayar sedapat mungkin membuat pihak yang rugi dikembalikan pada kedudukan semula seperti sebelum terjadinya kerugian atau dengan kata lain ganti kerugian menempatkan sejauh mungkin orang yang dirugikan dalam kedudukan yang seandainya perjanjian dilaksanakan secara baik atau tidak terjadi perbuatan melanggar hukum. Oleh karenanya, ganti kerugian harus diberikan sesuai dengan kerugian yang sesungguhnya. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan barang atau jasa yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen.Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen dapat secara langsung meminta ganti kerugian kepada pelaku usaha, hal ini tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Adapun ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tersebut dapat berupa :
a.      Pengembalian uang
b.   Penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya
c.   Perawatan kesehatan
d.   Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) belum memberikan perlindungan kepada konsumen yang mengalami kerugian secara maksimal, terutama dalam hal konsumen menderita suatu penyakit. Melalui pasal tersebut, konsumen hanya memperoleh salah satu bentuk ganti kerugian yaitu ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan kesehatan, padahal konsumen telah menderita kerugian bukan hanya kerugian atas harga barang tetapi juga kerugian yang ditimbulkan dari biaya perawatan kesehatan.
Perlindungan Hak Atas Ganti kerugian Bagi Konsumen Kesehatan
Setelah Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberlakukan, maka prinsip tanggungjawab yang dianut di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (1) , Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur lebih luas mengenai subyek yang dapat digugat untuk mengganti
kerugian. Konsumen yang dirugikan tidak hanya dapat menggugat secara produsen, tetapi semua yang dinyatakan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai pelaku usaha, termasuk di dalamnya adalah dokter yang dianggap sebagai pelaku usaha yang memberikan pelayanan jasa kepada pasien selaku konsumen kesehatan.
Dalam Penjelasan Umum UUPK disebutkan bahwa UUPK pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya UUPK telah ada beberapa UU yang materinya melindungi konsumen, seperti UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dengan demikian UUPK menjadi payung hukum (umbrella act) bagi peraturan perundangan-undangan lainnya yang berhubungan dengan konsumen. Tenaga kesehatan yang dimaksudkan disini adalah setiap orang yang mengabdikan dirinya dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Sesuai ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Kesehatan, setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Baik standar profesi pada umumnya maupun standar profesi mediknya. Demikian pula dengan penghormatan hak, baik hak-hak pasien pada khususnya, maupun hak-hak konsumen pada umumnya. Demikian pula, dalam melakukan tugasnya setiap tenaga kesehatan terikat dan tunduk pada norma-norma yang bersifat hukum dan etik. Pelanggaran terhadap hukum dan etika tersebut berkonsekuensi pada pemberian sanksi yang harus dijalankannya.

Kendala Pemenuhan Hak Atas Ganti Kerugian Bagi Konsumen Kesehatan
Pasal 55 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, hanya menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal 50 UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berbunyi: dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Undang-undang mengenai praktik kedokteran, oleh banyak pihak dinilai lebih memihak dokter ketimbang konsumen kesehatan. Undang-undang tersebut justru cenderung melindungi dokter, bukan tenaga medis yang lain, apalagi konsumen kesehatan. Tak heran jika dalam banyak kasus malpraktek, pasien yang menjadi korban cenderung berada dalam posisi yang lemah. Jika ada anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dilaporkan melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), maka pasien sebagai pihak yang dirugikan dapat melapor kepada IDI setempat. Selanjutnya Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) akan bersidang dan menilai apakah anggota tersebut melanggar etika atau tidak. Jika terbukti, maka IDI dapat memberikan sanksi, yang bersifat sanksi moral sampai sanksi pemecatan dari keanggotaan IDI. Namun sayangnya, IDI tidak berwenang mencabut izin praktik yang merupakan kewenangan pemerintah. Di lain sisi pasien sendiri mengalami kesulitan untuk menuntut dokter secara hukum, sebab tidak ada standar yang membedakan mana tindakan malpraktek, kecelakaan dan kelalaian. Ganti rugi hanya diberikan bila terbukti ada kerugian yang ditanggung pasien. Sedangkan beban pembuktian itu sendiri ada pada pasien. ”Hukum pidana atau perdata dapat dilakukan pada dokter hanya bila terjadi kecacatan atau kematian atau reaksi tubuh yang tidak diharapkan akibat dari pelayanan yang tidak sesuai dengan kaidah medis”.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat adanya perbedaan beban pembuktian yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan pembuktian yang diatur dalam Hukum Acara yang berlaku menurut KUH Perdata.






Penutup
Konsumen kesehatan disini adalah pasien kesehatan yang mengalami malpraktek medik serta belum mendapat perlindungan hukum atas hak ganti rugi sebagaimana yang diharapkan. Pemenuhan atas hak ganti rugi bagi konsumen kesehatan hanya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum yang mana konsumen kesehatan harus berupaya untuk bisa membuktikan kesalahan yang telah dilakukan oleh pelaku usaha jasa layanan kesehatan (dokter dan Rumah Sakit) Hal ini disebabkan belum adanya ketentuan yang secara jelas mengatur mengenai malpraktek medik dan memberikan perbedaan yang jelas dengan kelalaian atau kekurang hati-hatian. Oleh karena itu, dalam memutus kasus malpraktek menggunakan ketentuan dalam KUH Perdata khususnya Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh dokter atau Rumah Sakit. Sedangkan kendala yang dihadapi oleh pihak konsumen kesehatan (pasien) adalah kesulitan untuk mendapatkan Rekam Medik (RM). Oleh karena itu, apabila penyelesaian kasus malpraktek hanya dengan menggunakan ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata maka belum dapat sepenuhnya memberikan kepuasan bagi konsumen kesehatan dalam mendapatkan hak atas ganti rugi terkait dengan kendala yang dihadapi oleh pihak konsumen kesehatan yang harus membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha jasa layanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Maryanti, Ninik. 1988, Malpraktek Kedokteran, cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta.
Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
http://www.kompas.com/berita/29 Juli 2000
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/13 Oktober 2004

HUKUM BISNIS


HUKUM BISNIS

Abstraks
Kemajuan Tekhnologi dan Komunikasi mengakibatkan aktivitas ekonomi tidak lagi terkurung oleh batas-batas Negara. Fenomena ini yang terjadi di berbagai belahan dunia dewasa ini, seperti ASEAN atau Uni Eropa.
Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang di sebut dengan e-commerce. Perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi Negara makmur,sejahtera dan kuat. Pembiayaan perdagangan internasional dengan surat L/C atau kalau tidak dapat diatur oleh system hokum yang lain

Bab 1 pendahuluan
    
    A.  Latar belakang

Di zaman globalisasi ini, perdagangan internasional adalah salah satu bidang yang berkembang sangat cepat. Jadi ruang lingkup hukum pun cukup luas.   
Batas atau jarak Negara tidak lagi menjadi halangan untuk bertransaksi. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut e-commerce. Sekarang ini perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi Negara untuk menjadi makmur,sejahtera dan kuat.
Namun jika diantara perdangan tersebut timbul perselisihan, para pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan tersebut melalui peradilan dari yuridiksi yang terpilih.
       b.    Pokok permasalahan
 Berdasarkan kejadian diatas, pokok permasalahan yang dapat di analisis sehingga dapat                                                                menjawab pertanyaan bagaimana choice of law  by the parties, dikaitkan dengan pembatasan tertentu dalam suatu kontrak ?
       c.     Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah untuk mengetahui choice of law  by the parties, dikaitkan dengan pembatasan tertentu dalam suatu kontrak.



BAB II PILIHAN HUKUM DALAM SUATU KONTRAK DAGANG
A.      Istilah dan prinsip pilihan hukum

Biasanya pilihan hukum hanya dibenarkan dalam bidang hukum perjanjian. Masalah hukum yang dapat di terapkan adalah salah satu masalah yang penting dalam suatu kontrak perdaganagan internasional.
Pilihan hukum mempunyai banyak istilah dalam bahasa latin, diantaranya adalah : partij autonomie, autonomie desparies (perancis), intension of the parties (inggris) atau (choice of law).
Hukum yang berlaku ini dapat mencangkup beberapa macam hukum. Hukum-hukum tersebut adalah : Hukum yang diterapkan terhadap pokok sengketa dan hokum yang akan berlaku dalam persidangan.
Hukum yang nantinya berlaku, dapat berupa hukum nasional suatu Negara tertentu dan itu berdasarkan perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak. Cara inilah yang sering di gunakan dalam dewasi ini.  Alternatif lain yang memungkinkan dalam hukum perdaganagan internsional adalah menerapkan perinsip-perinsip kapatutan dan kelayakan.
Pilihan hukum sekarang ini sudah sangat umum diterima dalam kontrak-kontrak perdagangan internasoinal, baik oleh Negara penganut system kapitalisme liberal maupun sosialis.

     b.      Macam-mavam pilihan hokum

 Terdapat  4 macam cara memilih hukum yang akan dipakai dalam hukum perdagangan internasional (HPI) yaitu :

1.       Pilihan hukum secara tegas

Didalam pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas, pilihan hukum yang dinyatakan dengan kata-kata yang menyatakan pilihan hukum tertentu dalam kontrak tersebut. Bilamana hakim dalam menentukan hukum mana yang harus berlaku dalam kontrak tersebut, hakim akan menggunakan pilihan hukum sebagai titik taut penentunya.

2.       Pilihan hukum secara diam-diam

Pilihan hukum secara diam- diam, untuk mengetahui adanya pilihan hukum tertentu yang dinyatakan secara dam-diam, dapat disimpulkan dari maksud atau ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang terdapat dalam suatu kontrak. Fakta-fakta yang berkaitan dengan kontrak tersebut, misalnya bahasa yang dipergunakan, mata uang yang digunakan,gaya atau style.

3.       Pilihan hukum secara di anggap

Pilihan hukum secara dianggap ini hanya merupakan suatu dugaan hukum. Hakim telah menerima terjadi suatu pilihan hukum berdasar dugaan belaka. Dugaan hakim merupakan pegangan cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak benar-benar telah menghendaki berlakunya suatu system hokum tertentu.

4.       Pilihan hukum secara hipotesis

Pilihan hukum secara hipotesis ini di kenal terutama di jerman. Sebenarnya disini tidak ada kemauan dari para pihak untuk memilih sedikitpun. Hakim yang melakukan pilihan hukum tersebut.  Hakim bekerja dengan fiksi, seandainya para pihak telah memikirkan hukum yang di pergunakan, hukum manakan yang akan dipilih mereka sebaik-baiknya, jadi sebenarnya tidak ada pilihan hukum bagi para pihak. Dan hakimlah yang menentukan pilihan hukum tersebut.
Banyak kalangan tidak menerima pilihab hukum secara dianggap, apalagi pilihan hukum secara hipotesis, oleh karena itu sebaiknya yang di gunakan hanyalah pilihan hukum secara tegas atau pilihan hukum secara diam-diam.

BAB III PEMBATASAN-PEMBATASAN DALAM PILIHAN HUKUM

Pilihan hukum, walaupun sudah dapat diterim secara umum, tetapi masih di persoalkan mengenai batas-batas wewenang untuk memilih hukum ini. Adapun batasan-batasan terhadap pilihan hukum adalah sebagai berikut: pilihan hukum hanya boleh dilakukan sepanjang tidak melanggar apa yang dikenal sebagai ketertiban umum. Pilihan hukum dibatasi oleh system hukum tertentu yang memaksa.

A.      Pilihan Hukum Tidak Melanggar Ketertiban Umum

 Persoalan pilihan hukum mempunyai hubungan erat dengan masalah keterlibatan umum. Konsep keterlibatan umum berlainan di masing-masing Negara. Ketertiban umum terikat pada tempat dan waktu. Jika situasi dan kondisi berlainan, maka paham tentang keterlibatan umum pun berubah.
Sesuai dengan prinsip hukum yang bersifat universal dan mendasar,bahwa kepentingan umum  tidak boleh di kalahkan dengan kepentingan pribadi, oleh karena itu, jika ada kontrak perdagangan yang bertentangan dengan ketertiban umum, maka kontrak tersebut  sudah pasti bertentangan undang-undang yang berlaku di suatu Negara.

B.      Pilihan Hukum Tidak Boleh Menjelma sebagai penyelundup Hukum

Ada hubungan yang sangat jelas antara penyelundupan hukum dan pilihan hukum. Pada penyelundupan hukum inividu mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri. Namun pada pilihan hukum tidak ada pilihan untuk mengikuti undang-undang atau pilihan dan kemauan sendiri.

C.      Pembatasan oleh system hukum tertuntu yang memaksa

 Salah satu contoh pembatsan dalam pilihan hukum adalah megenai system hukum tertentu yang sifatnya memeaksa. Hal ini sudah umum diterima baik dalam suasana hukum intern maupun internasional. Hukum yang memaksa membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan pilihan hukum. Pembatasan-pembatasan tersebut  sangat ditentukan oleh keadaan kihidupan modern, seperti perlindungan konsumen, penyalahgunaan wewenang dari para penguasa ekonomi serta menjaga persaingan yang adil dalam ekonomi.

Kesimpulan :

1.       Hukum Yang berlaku dalam transaksi e-commerce pada dasarnya mengacu kepada hukum yang dipilih oleh para pihak, baik pilihan hokum sacara tegas maupun pilihan hukum secar a diam-diam.
2.       Jika idak pilihan Hukum dalam transaksi e-commerce tersebut dapat mengacu kepada titik taut yang mengacu kepada prestasi pihak yang paling karakteristik sebagaimana ditentukan konvensi Roma.

Daftar pustaka Buku-buku :
Adolft,huala, Hukum perdagangan Internasional, Jakarta: PT.raja Grafindo Persada,Cet 1,2005
 ____Penagntar Hukum perdata Internasional Indonesia, bandung: Penerbit Bina cipta. Cet. Ke5, 1987
H.S, salim, Hukum kontrak, teori dan Teknik penyusuna kontrak, Jakarta : penerbit sinar gafika, cat, ke 3 2006
Khairandy, Ridwan, Pengantar Hukum perdata Internasoinal, Jogjyakarta: FH UII Press, cet 1, 2007
Internet :
Wibowo, Basuki Rekso, Kompetensi Peradilan Umum Terhadap Putusan Arbitrabse, library@lib.uniair.ac.id, 1 januari 1999

HUKUM YANG BERLAKU DALAM TRANSAKSI BISNIS DENGAN E-COMMERCE

ABSTRAK
Kajian Hukum dalam transaksi e-commerce melalui pendekatan yuridis normative dan dengan menggunakan bahan baku primer dan sekunder. Hukum yang berlaku ini pada dasarnya mengacu kepada hukum yang di pilih oleh para pihak atau jika tidak, pilihan hokum dapat di lakukan dengan prestasi pihak yang paling karakteristik.
UU ITE No.11 tahun 2008 mengatakan jika para [ihak tidak melakukan pilihan hukum dalam hal bertransaksi internasional, maka hukum yang berlaku didasarkan pada azas-azas hukum perdata internasional.Namun, permasalahannya adalah apakah hukum internasional dapat di aplikasikan begitu saja kepada Negara-negara   tanpa melakukan kesepakatan hukum perdata terlebih dahulu kepada Negara yang bersangkutan ?

Pendahuluan
Dalam menjalankan bisnis dengan menggunakan internet atau yang sering disebut dengan transaksi e-commerce yang melintasi batas antar Negara, banyak ssekali di temukan masalah dalam menjalankan bisnis tersebut. Permasalahan ini perlu di atasi untuk bagaimana cara menentukan hukum apa yang akan di pilih untuk mengatur kontrak tersebut dan pengadilan mana yang akan berwenang unutk mengatsai masalah tersebut. 
 Dalam pasal 18 ayat 2 menyebutkan bahwa undang-undang Internet dan Transakasi elektronik memilki kewenangan memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik inernasional yang dibuatnya.
Melihat karakteristik transaksi yang melintas batas Negara dalam dunia maya, persoalan hukum yang berlaku ini menjadi sangat rumit, sehingga timbulah pertanyaan, apakah peraturan konvensional dalam hukum  perdata internasional dapat diterapkan dalam transaksi ini

Pilihan Hukum
Untuk mencari hukum yang berlaku dalam suatu kontrak yang mengandung unsure asing atau hokum perdata internasional dapat dipergunakan bantuan titk-titik pertalian atau titik-titik taut sekunder, diantaranya adalah pilihan hukum, tempat ditandatanganinya kontrak, atau tempat dilaksanakannya kontrak.
Pilihan Hukum  merupakan masalah yang sentral dalam hukum perdata internasional berbagai system hukum . Pilihan Hukum ini sudah sangat umum, kini orang sudah tidak meragukan lagi bahwa para pihak dalam membuat suatu kontrak dapat menentukan sendiri hukum bagi kontrakyang mereka buat itu.
Pada dasarnya ada beberapa batasan-batasan pihak untuk menentukan pilihan hukum, yaitu:
1.       Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
2.       Pilihan hukum tidak menganai pilihan hukum yang sifatnya memaksa

Pilihan Hukum diperkenanaan atas dasar kebebasan berkontrak, Bukan berarti kebebasan tersebut tidak ada batasanya, Namun kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum dan Hukum yang memaksapun menjadi batasan para pihak dalam menentukan pilihan hukum .
 Pilihan hukum  itu sendiri dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
1.       Pilihan hukum  secara tegas
2.       Pilihan hukum  secara diam-diam
3.       Pilihan hukum secara dianggap dan
4.       Pilihan hukum secara hipotesis

Dibawah ini penjelasanya :

1.       Pilihan hukum secara tegas

Didalam pilihan hukum yang dinyatakan secara tegas, pilihan hukum yang dinyatakan dengan kata-kata yang menyatakan pilihan hukum tertentu dalam kontrak tersebut. Bilamana hakim dalam menentukan hukum mana yang harus berlaku dalam kontrak tersebut, hakim akan menggunakan pilihan hukum sebagai titik taut penentunya.

2.       Pilihan hukum secara diam-diam

Pilihan hukum secara diam- diam, untuk mengetahui adanya pilihan hukum tertentu yang dinyatakan secara dam-diam, dapat disimpulkan dari maksud atau ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang terdapat dalam suatu kontrak. Fakta-fakta yang berkaitan dengan kontrak tersebut, misalnya bahasa yang dipergunakan, mata uang yang digunakan,gaya atau style.

3.       Pilihan hukum secara di anggap

Pilihan hukum secara dianggap ini hanya merupakan suatu dugaan hukum. Hakim telah menerima terjadi suatu pilihan hukum berdasar dugaan belaka. Dugaan hakim merupakan pegangan cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak benar-benar telah menghendaki berlakunya suatu system hokum tertentu.

4.       Pilihan hukum secara hipotesis

Pilihan hukum secara hipotesis ini di kenal terutama di jerman. Sebenarnya disini tidak ada kemauan dari para pihak untuk memilih sedikitpun. Hakim yang melakukan pilihan hukum tersebut.  Hakim bekerja dengan fiksi, seandainya para pihak telah memikirkan hukum yang di pergunakan, hukum manakan yang akan dipilih mereka sebaik-baiknya, jadi sebenarnya tidak ada pilihan hukum bagi para pihak. Dan hakimlah yang menentukan pilihan hukum tersebut.

            Banyak kalangan tidak menerima pilihab hukum secara dianggap, apalagi pilihan hukum secara hipotesis, oleh karena itu sebaiknya yang di gunakan hanyalah pilihan hukum secara tegas atau pilihan hukum secara diam-diam.
 Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa persoalan hukum yang berlaku dalam kontrak bisnis .internasional menjadi salah satu perhatian utama hukum perdata internasional.Persoalan itu mendorong Negara-negara baik yang memiliki tradisi common law maupun civil law melakukan harmonisasi hukum berkaitan dengan persoalan diatas. Hasilnya adalah adanya beberapa konvensi internasional yang mengatur hukum yang belaku dalam kontrak.


Penentuan Hukum Yang Berlaku Jika Tidak Ada Pilihan Hukum
            Permasalahan yang akan  timbul sehubungan dengan terjadinya perselisihan yang berkenaan dengan kontrak-kontrak internasional itu adalah jika kontrak-kontrak itu tidak memuat klausul mengenai governing law. Selain itu tidak selamanya kontrak dagang internasional dibuat secara tertulis.Ada beberapa titik taut dan asas-asas HPI yang dapat dijadikan sebagai sandaran untuk menentukan hukum yang berlaku tersebut. Asas-asas tersebut di uraikan di bawah ini.

1.       Lex Loci Contractus
       Menurut teori “klasik” Lex Loci Contraktus, hukum  yang berlaku bagi suatu kontak internasional adalah hukum ditempat perjanjian atau kontrak itu di buat. Penerapan teori ini memeng sangat cocok pada zamannya dimana dulu para pihak yang mengadakan kontrak berada pada tempat yang sama, para pihak langsung bertemu muka.

2.       Mail Box theory dan theory of declaration
       Menurut mail box theory bilamana kedua belah pihak dalam suatu kontak internasional tidak saling bertemu muka (misalnya melalui surat-menyurat), maka yang penting adalah saat salah satu pihak mengirimkan surat yang berisikan penerimaan  atas penawaran yang diajukan oleh pihak lainnya. Hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum Negara pihak yang mengirimkan penerimaan penawaran tadi. 



3.       Lex loci solutionis
       Sebagai variasi terhadap teori lex loci contraktus dikemukakan pula adanya teori lex loci solutionis Menurut teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat kontrak tersebut dilaksanakan.Penerapan teori ini dalam praktik juga menimbulkan berbagai msalahnya, misalnya bilamana palaksanaan kontrak dilaksanakan di berbagai Negara.

4.       The Proper Law of contaract
        Dinegara-negara dengan system common law untuk peruntukan hukum apa yang akan berlaku dalam suatu kontrak yang mengandung unsure asing digunakan doktrin the proper law of contract. Pada mulanya pengadilan inggris,kanada, dan amerika serikat menggunakan asas-asas lex loci contraktus untuk mengatur yang menagndung unsure asing. Asas tersebut tidak digunakan jika para pihak mamilih suatu system hukum tertentu ketikan kontrak dibuat.Jadi hakim akan mengutamakan hukum suatu Negara dengan menggunakan pandangan pada suatu hukum dimana kontrak itu dibuat.

5.       Teori Most Characteristic Connection
        Untuk mengatasi berbagai kesulitan di atas, muncul teori baru, yakni the most characteristic connection theory. Teori ini menurut Sudargo Gautama merupakan teori yang terbaik dan dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelasaikan persoalan pemakaian hukum  dan kontrak bisnis internasional dewasa ini.
       Walaupun teori ini dianggap yang terbaik, tetapi tidak berarti tidak memiliki kelemahan didalamnya. Misalnya jika didalam kontrak jual beli, prestasi pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang paling khas, tetapi jika perhatian terhadap pembeli lebih besar atau jika pihak pembeli dinyatakan lebih harus dilindungi, maka keadaan menjadi lain.


Kesimpulan

1.       Hukum Yang berlaku dalam transaksi e-commerce pada dasarnya mengacu kepada hukum yang dipilih oleh para pihak, baik pilihan hokum sacara tegas maupun pilihan hukum secar a diam-diam.

2.       Jika idak pilihan Hukum dalam transaksi e-commerce tersebut dapat mengacu kepada titik taut yang mengacu kepada prestasi pihak yang paling karakteristik sebagaimana ditentukan konvensi Roma.

Daftar Pustaka

Admadipraja, Sutisna, Hukum Perjanjian dalam Hukum Perdata Internasional, Djatnika bandung, tanpa tahun
Castle, G,. Introduction to Conflict of law,Butterworth, Toronto, 1986.

Gautama Sudargo,Pengantar Hukum perdata internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional- Binacipta, bandung 1978.

_____, Hukum perdata Internasional: Hukum yan ghidup, alumni, Bandung 1983.

_____,Hukum perdata iternasional Indonesia, jilid III bagian 2 (buku8).alumni bandung 1978

_____, Hukum Perdata internasional Buku III Bagian 2 (Buku8)alumni, Bandung, 1987

Reed , chris dan John Angel, computer Law, Blackstone press Limited,London, 2000

Wright,Benjamin K. dan Jane k. Winn, the Law of electronic commerce, aspen law & business. New York,2000

Yun Zhao, Disputes Resolution in Electronic Commerce, Martninus Nijhoff Piblishers. Leiden, 2005.